Ketika menyebut tiwul, kebanyakan sahabat BINA akan mengasosiasikannya dengan makanan kaum miskin. Tidak salah juga mengingat makanan itu hadir sebagai solusi saat stok nasi menipis pada masa penjajahan, terutama masa penjajahan Jepang. Maka, tak salah membahas makanan ini dalam suasana hari pahlawan ini.
Sejarawan Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman menyebut panganan tersebut eksis di Indonesia sejak 1930an. Tapi, sejarah singkong sebagai bahan utama tiwul di Indonesia sudah ada sejak lama. Bibitnya dibawa oleh pengembara Spanyol dan Portugis, kemudian dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia.
Tiwul adalah makanan tradisional asli Indonesia yang dulu sempat menjadi makanan pokok pengganti nasi beras, seperti dilansir dari Wikipedia. Tiwul dibuat dari gaplek, yaitu singkong yang sudah dikeringkan dan dikukus. Masih banyak orang dari daerah Wonosobo, Gunungkidul, Wonogiri, Pacitan dan Blitar yang saat ini mengonsumsi tiwul meski bukan lagi menjadi makanan pokok.
Tidak diketahui secara pasti kapan tiwul mulai dibuat, namun tiwul menjadi makanan pokok sebagian besar rakyat Jawa pada masa penjajahan Jepang. Pada saat itu bahan makanan yang layak seperti nasi beras sangat sulit didapat dan tak mampu dibeli, pada akhirnya rakyat mencari bahan makanan lain pengganti nasi.
Karena hasil kebun yang paling mudah ditanam dan dipanen tanpa membutuhkan perawatan khusus adalah singkong, maka muncullah berbagai olahan makanan berbahan dasar singkong, termasuk tiwul. Singkong bukan hanya sangat murah dan mudah didapat saat itu, tapi juga bisa disimpan dalam waktu sangat lama dan mengenyangkan.
Bahkan beberapa makanan terbuat dari singkong yang sudah dijemur, dikeringkan dan berjamur disebut gatot. Oleh karena itu, singkong menjadi satu-satunya bahan pangan utama yang dimiliki pada saat itu.
Sejarah Tiwul
Tiwul merupakan makanan lokal yang terbuat dari gaplek, yakni singkong yang sudah dikeringkan dan dikukus. Pada waktu zaman penjajahan Jepang, tiwul adalah makanan yang menjadi bahan pangan pokok, khususnya untuk masyarakat jawa. Hal ini terjadi karena bahan pangan berupa beras sangat sulit untuk ditemukan. Harganya pun terlampau mahal sehingga tidak banyak orang yang mampu untuk membeli.
Rakyat yang tetap perlu hidup tentu mencari inisiatif makanan pokok lain sebagai pengganti nasi. Pada waktu itu, tanaman yang mudah ditanam, tanpa perawatan khusus, dan mudah dipanen ialah singkong. Selain mengenyangkan, singkong juga dinilai tahan lama. Hal itulah yang membuatnya sempat menjadi bahan pangan pokok pada zamannya.
Bukan hanya untuk tetap bertahan hidup, tiwul juga menjadi saksi bisu pertahanan dan perlawanan rakyat Indonesia dalam masa penjajahan. Itulah mengapa tiwul perlu dilestarikan dengan baik sebagai salah satu pangan lokal yang bersejarah dan kaya manfaat.
Pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia antara Tahun 1945-1949, merupakan Masa Paling berat Bagi Bangsa Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya. Salah satunya adalah bagaimana mencukupi kebutuhan Pangan para Pejuang yang bertarung antara hidup dan Mati melawan para penjajah. Menurut Cerita kakek saya dulu, makanan yang paling nikmat dan bisa kenyang sepanjang hari adalah Gatot dan Tiwul.
. Saat ini, tiwul lebih populer sebagai camilan yang disajikan dengan parutan kelapa dan siraman gula merah. Tak itu saja, ada banyak variasi penyajian tiwul dan aneka bahan pelengkap yang bisa ditambahkan. Mulai dari ketan hitam, jagung rebus pipilan, sampai singkong rebus yang diserut.
Bahkan sekarang mulai ada Nasi goreng tiwul, yaitu makanan khas Pengunungan Wilis, Kabupaten Kediri. Biasanya, nasi goreng tiwul bisa dijumpai di kawasan wisata air terjun Irenggolo di Dusun Besuki, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, sekitar 30 kilometer dari arah barat daya Kota Kediri.