Artikel

Berkibarlah Sang Dwi Warna di Puncak Arjuna

3.55KViews

Satu setengah bulan lamanya kami mempersiapkan mulai dari Simaksi online atau ijin pendakian, memastikan personil siap sedia, kemudian waktu yang sekiranya pas untuk melakukan pendakian. Memasuki musim kemarau seperti Bulan Juli kami rasa waktu yang cocok. Frekuensi hujan sudah berkurang dan matahari setiap harinya tak malu menampakkan.

Alasan kami memilih Arjuno, karena gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan ini salah satu gunung primadona para pendaki. Dengan ketinggian 3339 M dpl, gunung Arjuno masuk top 5 gunung tertinggi di pulau jawa. Tampak gagah, indah, dan menjulang ketika dilihat dari gerbang tol Lawang. Ada empat pintu pendakian gunung Arjuno. Jalur Purwosari lah yang kami pilih. Jalur ini adalah jalur spiritual karena sepanjang jalur akan melewati situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit, dan tempat suci untuk pemujaan.

Syam Nendy sebagai ketua, perwakilan dari kami melakukan registrasi di pos perijinan. Kemudian kami briefing mendengarkan arahan dari tim Saver. Mereka memastikan personil harus kondisi fit, selalu mengingatkan untuk menjaga alam, membawa sampah untuk dibawa turun kembali, tidak boleh merusak area. Mengingat kami mendaki lewat jalur Purwosari, tim saver juga menghimbau agar kami tidak melanggar pantangan-pantangan mendaki di gunung Arjuno. Pantangan tersebut misalnya : Tidak boleh mendaki dengan rombongan ganjil, tidak boleh memakai pakaian dominasi warna merah, wanita haid dilarang mendaki, dan tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor atau umpatan. Dimana bumi berpijak, disitu langit dijunjung. Apabila saat mendaki posisikan kita sebagai tamu. Itulah pepatah yang kami pegang.

Dari pos perijinan ke Pos 1 (Onto Boego) bisa ditempuh mengendarai motor. Disitu disediakan tempat parkir. Setelah berdoa jam tanganku menunjuk pukul 16.43 wib kami mulai berjalan menuju pos selanjutnya. Di warung watu kursi kami istirahat sebentar sembari membenarkan packing yang bikin pundak mulai pegal. Hari semakin petang, dinginnya angin gunung mulai terasa. Kemeja flanel dan jaket aku taruh luar ransel apabila kupakai sewaktu-waktu tidak membongkar packing.

Adzan magrib terdengar samar-samar kebetulan tiba di pos 2 ( Tampuono ), kami sementara menghentikan perjanan. Di pos ini ditandai dengan bangunan shelter untuk istirahat pendaki dan peziarah. Masih bisa ambil air wudhu karena disini ada sumber air di sendang dewi Kunti bisa untuk mengisi bekal minum juga. Kami sholat magrib dan makan lontong lauk ayam goreng yang kami bawa dari rumah. Hampir 40 menit istirahat, kemudian melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Cuaca yang sangat dingin dan gelap gulita, setiap personil memakai head lamp, jaket, dan buff.

Ternyata dari pos 2 tidak jauh 7 menit jalan yang menanjak tapi santai membawa kami ke pos 3 ( Eyang Sakri ). Di pos 3 ada shelter dan disampingnya petilasan Eyang Sakri. Namun kami melanjutkan perjalanan. Selepas pos 3 ini jalan mulai menanjak dan berbatu bikin ngos-ngosan. Sering kali istirahat sambil menikmati pemandangan malam. Di atas langit bertabur bintang dan dibawah sana gemerlap lampu kota Pasuruan. Sebelum tiba di pos selanjutnya kami melewati jalan yang landai dan pohon rindang. Penduduk menyebutnya Alas tengah dan disitu ada sebuah gubuk dengan tulisan aksara jawa “Rahayu”. Hawa mistis mulai terasa ketika melewati alas tengah. Gubuk Rahayu itu tempat disakralkan oleh penduduk. Setiap hari tertentu seperti satu suro banyak yang berdatangan ke gubuk ini.

Selepas dari gubuk jalan pun mulai menanjak lagi. Perjalanan yang sangat menguras tenaga sampai di pos 4 (Eyang Semar). Dibangun pondok-pondok treppa untuk istirahat. Disampingnya ada tempat pemujaan dan patung eyang semar yang masih tertancap beberapa dupa. Langit cerah dan pemandangan malam mengobati rasa lelah. Pegal dipundak kami mulai pudar ketika bisa melihat millkyway dari sini. Temanku si Ma’ruf pun mengeluarkan kamera untuk mengabadikannya. Jarang kami dapat spot seperti ini, milkyway yang indah.

Dari pos 4 ke pos selanjutnya jalan tetap menanjak dan berbatu. Sampai kami menemukan tempat yang lapang ada bangunan punden berundak. Inilah pos 5 (Mangkutoromo). Karena hari semakin larut malam kami memutuskan istirahat disini sampai esok. Ada bangunan dua shelter yang cukup besar. Kami bertemu dengan pendaki lain di sheter ini. Tak perlu khawatir karena tempat ini camp favorit seperti sumber air, toilet, mushola, tersedia di pos 5 ini. Sebelum istirahat kami mempersiapkan buat melanjutkan ke puncak esok pagi. Mempacking kembali barang yang hanya perlu dibawa. Pos 5 adalah tempat sumber air terakhir sebelum ke puncak.

Pukul 03.30 wib kami bangun, di dalam shelter kami memasak dan sarapan cukup. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke pos berikutnya. Jalan menanjak melewati berundak 5 menit untuk sampai di pos 6 (Candi Sepilar). Dari pos 6 jalan semula berbatu berubah jalan tanah dan tanjakan tak ada habisnya. Waktu sholat subuh pun tiba sebelum sampai pos selanjutnya. Tetap menuaikan kewajiban dalam kondisi dan situasi apapun. Kami sholat subuh jamaah dengan udara sangat dingin. Ufuk timur mulai memerah, pertanda sunrise akan tiba. Anugerah luar biasa bisa menikmati sunrise yang indah dari tempat ini.

Hangatnya cahaya mentari menemani kami sampai pos 7 (Jawa Dwipa). Sarapan roti, memasak air untuk minuman penghangat, dan meluruskan kaki. Hampir satu jam kami habiskan istirahat di pos 7, perjalanan masih panjang. Selepas pos 7 jalan terus menanjak. Sampai di Plawangan, pertemuan jalur Purwosari dan Lawang kami istirahat sejenak. Dari plawangan puncak ogal-agil seolah melambaikan tangan ke kami.
Seolah tanjakan tak ada surutnya, pemandangan indah tak ada habisnya, dan angin kencang membuat langkah kami semakin berat. Satu jam dari plawangan, tepat pukul 12.11 wib kami berenam menginjakkan di puncak ogal agil 3339 M dpl. Lelah kami terbayar, bendera merah putih di tiang, bendera berlogo KAI bersanding dengan panji SPKA berkibar. Dirgahayu Indonesia ke 77,

Hidup SPKA, Jaya Kereta Api.

747 Komentar